Selasa, 06 Desember 2011

ONAN "MELAYU" (Realita Pasar Tradisional)

Pendahuluan
Setiap individu dalam masyarakat membutuhkan beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidupnya guna untuk mempertahankan hidupnya. Setiap manusia membutuhkan orang lain dalam ketergantungan sosial didalam interaksi secara kolektif dalam masyarakat. Ketergantungan ini karena manusia adalah makhluk sosial, berakal budi, dan memiliki naluri dalam perasaan kebersamaan dalam kelompok.
Setiap kebutuhan yang dibutuhkan oleh setiap individu dalam masyarakat biasanya diperoleh melalui suatu lembaga yang merupakan wadah perkumpulan antar warga masyarakat, yakni pasar. Pasar adalah tempat transaksi jual beli bagi masyarakat. Pasar juga berfungsi sebagai tempat informasi, media interaksi antar berbagai lapisan masyarakat, antar etnis, antar golongan, yang semuanya merupakan kesatuan masyarakat ataupun komunitas yang mendiami suatu wilayah.
Dalam judul tulisan ini (Onan “Melayu” di Pulau Tello), akan menjelaskan sedikit mengenai hal yang berkaitan dengan tukar-menukar yang terjadi dalam sebuah pasar tradisional yang terletak di daerah terpencil tepatnya di Pulau Tello, Nias Selatan. Adapun alasan penulis mengambil judul ini, karena ada hal yang menarik berkenaan dengan situasi pasar, dan juga komunitas yang ada merupakan masyarakat yang majemuk. Seterusnya perdagangan ini seringkali dilakukan antar-pulau yang terletak disekitar kepulauan batu (seperti misalnya penelitian Bronislaw Malinowski sistem "kula" di Kepulauan Trobriand).
Data ini diambil hasil penelitian beberapa tahun yang lalu yang ditulis dalam sebuah catatan pada masa liburan. Pulau Tello berada di kepulauan Nias sebelah selatan, yang merupakan wilayah pemerintahan kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Terbentuk dalam satu pemerintahan kecamatan yakni Kecamatan Pulau-Pulau Batu. Posisi daerah ini merupakan perbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat (Kepulauan Mentawai).
Masyarakat Pulau Tello merupakan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan etnis yang terdapat disana dapat kita lihat dari asal-usul keturunan mereka yang berlainan dan merupakan masyarakat perantau. Namun hubungan kerja sama seakan kuat bagi mereka dalam bermasyarakat.

Asal-usul Onan “Melayu” Pulau Tello
Onan adalah merupakan salah satu pasar tradisional. Di daerah ini terdapat sebuah pasar tradisional yakni onan”Melayu”. Onan ini dibangun pertama kali pada tahun 1800 oleh seorang bangsawan melayu yang merantau dari Bengkulu ke Pulau Tello. Kondisi onan pada waktu itu belum sempurna, dengan lapak yang masih terbatas. Pada tahun 1908 barulah dibangun ketika masa pemerintahan Belanda di Indonesia dan menduduki wilayah Kepulauan Batu (Pulau Tello). Suasana mencekam menyelimuti kota Bengkulu pada waktu itu sehingga banyak keturunan orang melayu merantau ke daerah lain guna mendapatkan keselamatan dan keamanan.
Dulunya dibangun bersama dengan masyarakat setempat dengan hasil pertukaran antara kebun Nilam yang selama ini daerah Pulau Tello merupakan penghasil Nilam dengan tembaga dan perak pada waktu itu. Nilam ini mereka jual kepada bangsawan melayu yang kemudian mereka mengolahnya sendiri. Tempat pengolahan mereka lakukan secara tradisional di Pulau Tello juga hampir 15 tahun lamanya.
Setelah beberapa waktu kemudian, dibangun pasar tradisional ini, yang mana pada waktu itu wilayah Pulau Tello adalah wilayah keresidenan Sumatera Barat pada masa Kolonial Belanda.tetapi sejak 1928 Pulau Tello dipindahkan ke wilayah keresidenan Tapanuli. Pembangunan pasar tradisional ini diprakarsai juga oleh Raja Sitipu, yang merupakan pembuka kampung di Pulau Tello tersebut. Adapun sejarah asal-usul nama onan tersebut adalah onan “Melayu” karena dulu pada masa Raja Sitipu dan etnis melayu yang pertama sekali membuka kampung di Pulau Tello tersebut. Makanya nama pasar tradisional tersebut adalah onan “Melayu”.
Onan “Melayu” ini terletak di kelurahan pasar Pulau Tello, yang merupakan pusat kota Kecamatan Pulau-Pulau Batu. Namun karena nama onan tersebut adalah onan “Melayu” bukan berarti etnis melayu yang boleh berdagang, tetapi sebaliknya etnis lain juga memiliki peranan dan bahkan dari pulau-pulau lain di sekitar Pulau Tello berdatangan berdagang disana.
Sebelum masa kemerdekaan onan “Melayu” ini terkenal pada semua lapisan masyarakat,bahkan etnis yang tersebar dalam 101 buah pulau yang terletak disana. Semua hasil bumi dari masing-masing pulau-pulau yang ada di sekitar Pulau Tello didatangkan dengan angkutan transportasi sesederhana mungkin berupa sampan kecil berukuran 3-5 meter yang memiliki cadik dan tidak memiliki mesin hanya digerakkan oleh pendayung dan layar.
Namun sesudah kemerdekaan sampai saat ini keberadaan onan tersebut masih tetap utuh, hanya dengan dibangunnya pasar inpres sedikit mulai berkurang pedagang yang terdapat disana. Tetapi potensi perkembangan dari pasar tersebut menunjukkan potensi yang cukup dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

Pasar dan Makna Kedermawanan
Pulau Tello salah satu pulau besar yang terdapat dikepulauan batu. Kepulauan Batu ini tersebar 101 buah pulau-pulau yang belum semuanya berpenghuni. Dari sekian ratus pulau yang terdapat di kepulauan ini, yang merupakan pusat perdagangan daerah ini adalah Pulau Tello. Karena kepadatan penduduk, dan merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu.
Dengan keadaan seperti itu kelihatan menarik diteliti, dengan hasil pengamatan masyarakat yang berada di kepulauan batu memperdagangkan hasil buminya setiap hari ke Pulau Tello. Media transportasi masih sesederhana mungkin hanya dengan menggunakan sampan berukuran 3-5 meter mereka membawa dagangannya ke onan “Melayu” Pulau Tello.Onan “Melayu” ini tidak jauh dari pantai maka dengan itu para pedagang dulunya kebanyakan berdagang di atas sampan atau perahu langsung yang mereka miliki di tepi pantai disebabkan kepadatan masyarakat yang melakukan transaksi perdagangan.
Perlu diketahui etnik yang terdapat di Pulau Tello adalah etnik Nias, Minang, Melayu, Bugis, Batak dan Cina. Kondisi masyarakat yang heterogen ini semakin menarik perhatian untuk diteliti dalam melihat sistem pengetahuan tradisional mereka.
Setiap harinya masyarakat Pulau Tello berdatangan ke onan dalam melakukan transaksi pasar. Dulunya onan ini sangat ramai dikunjungi karena merupakan satu-satunya pasar yang terdapat disana. Baik berbagai etnis seperti nias, minang, melayu, cina, dan batak juga hampir semua mengunjungi lokasi ini.
Barang yang diperdagangkan beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terutama hasil bumi berupa: pala, jahe, kentang, umbi-umbian, pisang, sayur-sayuran, durian, sagu, kelapa, petai, jengkol, dan hasil bumi lainnya yang merupakan hasil pertanian penduduk setempat baik yang berasal dari Pulau Tello sendiri maupun yang berasal dari Pulau-Pulau lainnya di sekitar Pulau Tello.
Dalam memasarkan hasil dagangnya, cukup membutuhkan waktu relatif lama bagi masyarakat. Perlu diketahui jarak antar pulau dipisahkan oleh laut yang bisa memakan waktu yang cukup jauh. Maka dengan itu untuk pedagang yang berasal dari Pulau yang terjauh jam 3 pagi harus turun kelaut membawa barang dagangnya dengan sampan atau perahu untuk sampai ke onan “Melayu” tepat pukul 07.00 wib di Pulau Tello karena onan ini buka dan ramai tepat pada pukul 06.30 wib. Paling jauh jarak tempuh pedagang memakan waktu 4 jam perjalanan menggunakan sampan untuk sampai ke kota dengan jarak tempuh 15 mil laut.
Lain halnya lagi dengan pedagang yang berasal dari Pulau Tello sendiri, dengan transportasi sepeda,beca, atau jalan kaki membawa dagangannya ke pasar. Sungguh merupakan keuletan dan kegigihan pedagang dan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya. Jarak tempuh bagi pedagang yang berasal dari Pulau Tello sendiri tidak kurang dari 2 jam perjalanan paling lama dengan jarak tempuh 12 Km dengan berjalan kaki.
Masyarakat Pulau-Pulau Batu mengenal suatu pengetahuan tradisionil yakni anyaman tikar dan juga pembuatan gelang,cincin,ikat pinggang yang terbuat dari kulit penyu. Anyaman tikar ini Produksinya kita jumpai terutama di desa-desa seperti desa Sinauru, desa Hayo, Bintuang, Fuge, yang memiliki pengetahuan akan cara pembuatan anyaman tersebut. Bahannya masih sederhana mungkin. Hanya dengan bermodalkan daun Nipah (sagu) yang dikeringkan dan dirajut sedemikian rupa agar menjadi halus dan bisa ditempa.
Tikar ini mereka buat sendiri rata-rata dikerjakan hanya pada satu keluarga. Artinya masing-masing keluarga memiliki keahlian tersebut. Hasil anyaman tersebut mereka bawa ke kota kecamatan Pulau Tello untuk dipasarkan pada onan “Melayu” di Kelurahan Pasar Pulau Tello. Rata-rata penjualan mereka satu tikar seharga Rp.20.000 per lembar. Namun tidak banyak warga setempat yang memiliki keahlian tersebut. Hanya rata-rata keahlian itu ada pada orang Nias. Ada satu keistimewaan tikar ini selain mudah dibawa kemana-mana, murah, dan juga rasa empuk ketika kita beristirahat. Rata-rata hasil anyaman ini terjual pada masyarakat pendatang yang dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Selain tikar, ada satu sistem pengetahuan dan teknologi lainnya untuk dilestarikan dan dikembangkan, yakni teknologi pembuatan “gelang goyo”. Gelang goyo ini terbuat dari bahan kulit penyu asli yang berasal dari Pulau-Pulau sekitar Tello. Cara pembuatan masih sesederhana mungkin, yang boleh dikatakan adalah industri keluarga. Hasil teknologi ini adalah membuat gelang,cincin, tali pinggang, jam, kipas, yang bentuknya unik dari bahan kulit penyu. Dulunya penduduk yang mengenal dan mengetahui teknologi ini adalah orang Nias asli yang berada di Kecamatan Pulau-Pulau Batu, yang relatif banyak. Namun sekarang banyak para pembuat gelang tersebut yang meninggal dunia dan ada yang berimigrasi keluar daerah. Namun sebagian masih menetap di kecamatan Pulau-Pulau Batu terutama di pulau-pulau. Pembuatnya sampai sekarang masih orang Nias asli seperti dulu, yang menetap di Kecamatan Pulau-Pulau Batu.
Adapun hasil industri yang mereka olah tersebut mereka pasarkan dikota kecamatan onan “Melayu” terutama pada bulan juni dan agustus karena pada bulan ini banyak pendatang-pendatang yang berkunjung karena hari libur dan juga pada saat acara penyambutan 17 agustus. Rata-rata mereka menjual tergantung dari jenisnya. Misalnya untuk ikat pinggang seharga Rp. 25.000 – Rp.60.000, untuk jam Rp.20.000 –Rp.30.000, Cincin Rp.7.000 – 15.000 dan gelang berkisar Rp.20.000.
Rata-rata yang mengkonsumsi hasil industri tradisional tersebut adalah para pejabat-pejabat, pegawai pemerintah, dan juga para anak-anak muda juga. Rata-rata untuk pejabat yang mengadakan Kunker (Kunjungan Kerja) ke kecamatan Pulau-Pulau Batu, mereka mendapat cendera mata dari hasil industri tersebut. Dan selain itu juga yang mengkonsumsinya adalah para pendatang yang mereka gunakan untuk oleh-oleh yang mereka bawa ke kampungnya.
Ada banyak teknologi-teknologi lain yang dimiliki oleh warga sebagai sistem pengetahuan lokal, seperti misalnya cara pembuatan minyak dari kelapa, kemudian pembuatan kopra, pembuatan kue tradisional, yang semuanya kelihatan unik dan juga boleh dikatakan menarik. Inilah suatu keanekaragaman etnik tadi yang melatar belakangi terjadi hal demikian. Karena masing-masing etnik membawa keahlian dan pengetahuan masing-masing yang kemudian bila disatukan akan membawa keuntungan yang signifikan oleh warga sehingga pendapatan warga meningkat dan daerah menjadi berkembang.
Pada masyarakat Pulau Tello identik kebersamaan dalam bermasyarakat. Seperti masyarakat etnis melayu yang terdapat pada pasar onan “Melayu” yang merupakan keturunan para pendiri onan tersebut, memiliki sifat terbuka dengan etnis lain dalam berinteraksi di dalam pasar. Begitu juga dengan etnik lainnya seperti Nias, Minang, Bugis, Batak dan Cina, mereka saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam pemenuhan kebutuhan.
Selain makna dalam pemenuhan kebutuhan, interaksi yang terjadi di Onan juga menggambarkan adanya makna lain yakni kedermawanan. Terutama kita lihat pada perdagangan gelang goyo yang ada di Pulau Tello. Ada makna kedermawanan yang ditunjukkan oleh warga pada saat melakukan transaksi. Gelang goyo ini terkadang mereka berikan sebagai hadiah kepada pendatang baru di Pulau Tello, terutama para pejabat. penyebaran suatu sistem kedermawanan seperti gejala Pothlach yang terjadi sudah Turun-temurun mereka lakukan. Rasa keikhlasan tanpa berharap akan belas kasihan bagi mereka adalah prinsip hidup mereka. Sepertinya gelang goyo tersebut mereka simbolkan sebagai rasa simpati mereka kepada pejabat dengan mengungkapkan kedermawanan mereka.
Biasanya mereka berlomba-lomba untuk memproduksi barang tersebut untuk dipasarkan dengan ukiran-ukiran seindah mungkin. Dengan tujuan dan harapan pemberian yang mereka berikan dapat diterima oleh pejabat dengan perasaan yang puas dan ringan menerimanya. Mereka tidak mengharapkan apa-apa dengan maksud ini. Tetapi mereka mengharapkan supaya daerah ini (Pulau Tello) dapat dikenang oleh beliau dan dengan usaha keberlanjutan peningkatan ekonomi masyarakat ini dapat terlaksana atas usaha bersama pemerintah.
Disamping itu peranan pasar onan”Melayu” ini juga merupakan media informasi dari masing-masing etnis atau pulau-pulau lain. Interaksi yang terjadi sangat alot melalui percakapan karena rasa kebersamaan yang tumbuh pada masing-masing etnik. Karena alasan ini rasa persaudaraan dari masing-masing etnik semakin kuat apalagi bila salah seorang penduduk di Kepulauan Batu ini terkabar meninggal dunia, maka masyarakat tersebut langsung memberikan sumbangan bantuan berupa beras dan alat-alat dapur beserta pakaian. Disinilah mereka menunjukkan kedermawanan mereka sebagai tujuan untuk kebersamaan dalam masyarakat.
Selain itu suasana pasar yang Sangat tradisional ini merupakan ciri khas dari keadaan perekonomian masyarakat kita dan merupakan objek penelitian yang sangat menarik diteliti. Nilai-nilai kebersamaan yang optimal menjangkau pemikiran dari masing-masing etnis yang menggabungkan persepsi untuk kebersamaan dan kerukunan hidup berdampingan dalam satu daerah yang sama. Mereka bukan ingin menunjukkan kekuasaan mereka tetapi untuk kebersamaan masyarakat dalam berusaha memajukan perekonomian masyarakat.

Penutup
Kegiatan pasar tradisional adalah gambaran bagi kita dalam melihat perkonomian rakyat selama ini. Nilai-nilai kebersamaan dalam kelompok dan kedermawanan yang kuat adalah warisan turun-temurun yang dimiliki oleh warga Pulau Tello sebagai tujuan untuk kemakmuran rakyat. Sehingga jelas suasana gotong royong benar-benar dimiliki oleh masyarakat pedesaan berbanding terbalik dengan masyarakat kota saat ini. Jadi jelas potlach yang terjadi bukan hanya untuk kekuasaan tetapi merupakan Resiprositas umum yang terjadi di Onan “Melayu” Pulau Tello ini.
Gejala potlach adalah benar-benar merembes pada masyarakat tradisional di Indonesia termasuk daerah terpencil saat ini yang terjadi di Pulau Tello pasar tradisional Onan “Melayu”. Gejala ini hingga saat ini masih tetap ada dan berkelanjutan. Tujuan mereka adalah bukan untuk kekuasaan dalam kelompok tetapi untuk kebersamaan dalam kelompok dengan memupuk rasa kebersamaan dalam kelompok. Sikap terbuka dengan para pendatang adalah ciri khas bagi masyarakat Pulau Tello. Ini merupakan salah satu gambaran masih melekatnya nilai-nilai tradisional yang berkaitan dengan moral dan nilai religius yang tinggi dimiliki oleh warga.
Adalah bukan suatu gengsi dalam menonjolkan harta yang dimiliki tetapi merupakan ikatan batin untuk kebersamaan dalam kelompok dalam wadah bermasyarakat merupakan cermin perilaku masyarakat Pulau Tello. Gejala seperti ini masih tetap eksis dan membudaya turun-temurun. Mengandalkan suatu potensi alam yang dimiliki sebagai wujud kerja keras mereka selama ini dalam menghasilkan kebutuhan masing-masing warga masyarakat.

HUBUNGAN ANTAR ETNIK DAN POLA MIGRASI MASYARAKAT KOTA MEDAN"Pinggiran" (Deliserdang)

Dalam situasi perkembangan penduduk yang terus meningkat di kota-kota besar, daerah pinggiran dipandang cukup penting sebagai wilayah pemukiman baru. Tidak seperti perencanaan pembangunan perumahan di pinggiran kota-kota pulau Jawa, pengembangan pemukiman di pinggiran kota Medan umumnya berlangsug secara alamiah. Kini wilayah Kabupaten Deli Serdang, yang mengelilingi kota Medan, menjadi target pemukim baru. Uniknya, seperti kesimpulan penelitian Usman Pelly di Medan, arus urbanisasi ke kawasan pinggir kota ini pada umumnya memakai saluran (channel) famili, kerabat sekampung. Akibatnya, di pinggiran Medan ini tumbuh pemukiman bersifat segregatif yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnis. Pemukiman etnis tersebut semakin hari semakin tinggi tingkat homogenitas kesamaan 'primordial sentiment-nya' (Pelly, 1986: 4).

Tidak banyak diketahui bagaimana sifat-sifat hubungan antaretnis yang terjadi di pinggiran kota dan ke arah mana pola-pola hubungan akan tercipta. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa proses interaksi berlangsung secara alamiah, tanpa intervensi yang berarti dari pihak luar. Tetapi di sana juga berlangsung tarik-menarik antara kultur setempat dengan kultur pendatang. Karena itu pergerakan interaksi sosial sering tidak dapat diduga atau diramalkan – apakah ke arah integrasi atau sebaliknya. Artinya sulit diduga pola hubungan yang bakal terjadi dari waktu ke waktu. Tidak mustahil, bahwa arah dan pola interaksi sosial itu juga berbeda-beda satu sama lain, sesuai dengan sifat-sifat komunitas etnis yang saling berintekrasi.

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa atau perkampungan ke arah timur kota Medan. Latar belakang spesifik yang membuat penelitian ini penting adalah pada sifat pemukiman-pemukiman di sana yang dapat menggambarkan situasi interaksi antaretnis yang bisa dilacak proses-prosesnya mulai dari tahap permulaan. Hal spesifik lainnya, adalah pada sifat hubungan antaretnis dalam satu pemukiman, di mana sebelumnya kedua etnis hampir tanpa interaksi yang intens. Lebih dari itu, keragaman etnis di Sumatera Utara yang sangat majemuk adalah alasan lain yang menandai pentingnya penelitian ini dilakukan. Dengan demikian, dalam studi tentang interaksi antaretnis di pinggiran kota Medan, pasti berhadapan dengan banyak tipe-tipe pemukiman yang dapat dipilih dengan bermacam-macam pola hubungan antar etnis.

Interaksi Sosial dalam Pergaulan Sosial
Umumnya orang-orang di desa-desa penelitian yang tinggal dalam satu dusun saling mengenal satu sama lain, dan sebagian di antara mereka saling mengenal dengan anggota masyarakat dari dusun lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka tidak sebatas aspek formalnya saja.

Sebagai sebuah desa di pinggiran kota, interaksi sosial antar anggota etnis di tiga tiga desa penelitian ini berlangsung secara intensif. Pranata-pranata tradisional yang ada di desa dipandang cukup penting dalam proses interaksi antara satu sama lain. Selain rumah-rumah dan perkumpulan keagamaan yang di dalamnya terjadi interaksi terbatas antara anggota satu agama, tempat-tempat berkumpul dan bertemu lainnya, seperti kedai kopi, kedai sampah, pasar tradisional, lapangan olah-raga, halaman atau teras rumah penduduk, dan sebagainya, dinilai cukup fungsional dalam menjalin hubungan antar etnis di sana. Ibu-ibu dari bermacam etnis (Jawa, Melayu, Batak Angkola/Mandailing, Batak Toba atau Tionghoa) sering bertemu dan mengobrol panjang lebar ketika berbelanja di kedai sampah atau bertandang ke rumah tetangga. Para laki-laki remaja dan dewasa juga tampak terlibat dalam kegiatan interaksi di lapangan olah-raga dan kedai kopi. Demikian juga anak-anak dari berbagai etnis, mereka berintekrasi hampir sepanjang waktu ketika belajar di sekolah atau bermain di area perkampungan. Tak terkecuali, pada waktu-waktu khusus, seperti dalam acara pesta perkawinan dan melayat orang meninggal, masyarakat dari beragam etnis juga dapat bertemu dan saling bercerita antara satu sama lain.

Salah satu akibat positif dari proses interaksi yang cukup intensif itu adalah pertukaran bahasa antaretnis. Walaupun orang-orang pada tiga desa tersebut mengaku menggunakan bahasa Indonesia di tempat-tempat umum, namun tampaknya pertukaran bahasa etnis juga terjadi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, khususnya bagi mereka yang sudah lama bermukim di sana. Selain pertukaran bahasa antara Melayu dan Jawa di Desa Bandar Setia, bahasa Jawa menjadi pilihan yang banyak dipelajari anggota komunitas selain Jawa. Umumnya orang-orang Batak Toba di Desa Kolam, dan orang-orang Tionghoa di Desa Bandar Klippa telah menguasai dan mahir berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan, banyak orang-orang Tionghoa yang lebih lancar berbahasa Jawa daripada bahasa Hokian (Cina), dan hampir tidak mengerti bahasa Mandarin. Oleh karena itu, tidak heran bilamana dalam komunikasi antara orang Batak Toba dengan orang Jawa atau orang Tionghoa dengan orang Jawa lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia.

Ada perbedaan penting antara pendatang awal dan pendatang belakangan dalam proses adaptasi dengan etnis setempat. Generasi pertama migrasi Mandailing ke Desa Bandar Setia, Batak Toba ke Desa Kolam, dan Tionghoa di Desa Bandar Klippa lebih cepat beradaptasi dengan etnis setempat, tetapi kaum migran dari generasi belakangan (yang datang pada 20 tahun terakhir) tampaknya semakin sulit. Pergeseran durasi proses adaptasi antara generasi awal dan generasi belakangan berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang dipertunjukkan. Jika pendatang awal segera berusaha mendekat kepada etnis setempat, maka pendatang baru cenderung mencari teman seetnis dalam berkomunikasi. Sikap ini berkaitan dengan banyak hal, seperti karena semakin populasi anggota etnis, adanya keunggulan kompetitif, dan adanya perbedaan di bidang pekerjaan.

Interaksi dalam Kegiatan Budaya
Di desa Bandar Setia, berlangsung interaksi segitiga antar etnis Melayu, Jawa dan Batak Angkola/Mandailing. Orang-orang dari ketiga etnis ini 100% menganut agama Islam, dengan faham keagamaan yang sama; baik di bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf. Secara umum, Melayu dan Jawa merupakan dua etnis yang sudah cukup lama di desa tersebut dan dikategorikan sebagai penduduk setempat, sedangkan Batak Angkola /Mandailing adalah kelompok etnis pemukim baru, yang dikategorikan sebagai etnis pendatang.

Sebenarnya migrasi etnis Mandailing ke Tembung dan sekitarnya (termasuk ke Desa Bandar Setia) sudah berlangsung sejak lama. Tidak ada data valid yang dapat dirujuk mengenai masa perpindahan orang-orang dari etnis ini ke Bandar Setia, namun diperkirakan orang-orang Mandailing telah ada di pinggiran kota Medan sejak awal kemerdekaan. Jumlah mereka masih terbatas, jauh lebih sedikit dibanding dengan penduduk setempat; Melayu dan Jawa.
Pemukim gelombang pertama ini membaur dengan masyarakat setempat dan kemudian berakulturasi secara intens. Orang-orang Mandailing dari generasi pertama memang berusaha untuk menjadi identik dengan orang Melayu. Mereka banyak mengadopsi budaya Melayu, mulai dari bahasa, tradisi-tradisi budaya, kebiasaan hidup, pola berbusana, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan daerah asal juga hampir terputus, sehingga budaya daerah hampir terlupakan dan sudah amat jarang dilaksanakan, mereka juga tidak menggunakan marga dalam dokumen formalnya, sekalipun mereka tahu dan sadar atas marga mereka. Karena itu, generasi pertama orang-orang yang berasal dari Mandailing yang sekarang tinggal di Bandar Setia telah benar-benar melaksanakan adat-budaya Melayu.
Agaknya pola interaksi yang ditempuh orang-orang Mandailing generasi awal tidak diikuti dengan baik oleh orang-orang Batak Angkola /Mandailing yang datang belakangan. Sebagai pendatang baru di tengah-tengah masyarakat Melayu dan Jawa, orang-orangg Batak Angkola/Mandailing telah mengikuti dan memperhatikan upcara-upacara budaya setempat. Namun dalam perkembangan berikutnya, para pendatang baru Angkola-Mandailing lebih selektif dalam memilih bagian-bagian budaya Melayu yang dapat diadopsi, sekaligus mencoba mengukuhkan identitas budaya etnis sendiri. Beberapa indikasi ke arah penerimaan sebagian budaya Melayu dan Jawa dapat ditangkap dari acara-acara etnis yang disertai marhaban, tepung tawar, dan bale (dari budaya Melayu), serta acara kirim do'a untuk arwah keluarga yang pada 7 atau 40 hari meninggalnya (dari budaya Jawa). Tetapi indikasi lainnya menunjukkan pula, bahwa orang-orang Batak Angkola/Mandailing masih tetap melaksakan acara-acara etnis, seperti mangupa (membuat hidangan khusus bagi penganten yang disertai nasehat-nasehat), dan mangadati (mengantar secara adat) orang yang baru meninggal dunia, termasuk manariakkon (menyampaikan pidato-pidato pada saat pembeangkatan jenazah dari rumah), suatu tradisi yang sebelumnya tidak dikenal di sana.

Pertukaran budaya juga telah terjadi antara Jawa dan Melayu. Berbeda dari interaksi Mandailing-Melayu, interaksi Jawa dengan Melayu berlangsung tanpa peleburan identitas. Anggota kedua etnis Jawa dan Melayu bergaul dalam hidup sehari secara normal sebagaimana layaknya hubungan saudara muslim. Karena lamanya interaksi itu, secara otomatis terjadi pertukaran budaya secara alamiah. Ini banyak terjadi pada sisi-sisi budaya bernuansa agama; Islam. Tradisi marhaban, tepung tawar, bale, dan tepak sirih yang menjadi tradisi orang Melayu dalam acara-acara kegembiraan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang Jawa. Demikian sebaliknya, acara-acara selamatan atau kirim doa pada tujuh, empat puluh, seratus dan seribu hari bagi anggota keluarga yang meninggal sebagai tradisi orang Jawa sudah amat sering dilakukan oleh orang-orang Melayu. Atas dasar itu, dalam banyak hal, orang-orang Melayu sering memegang peranan dalam acara orang Jawa, dan sebaliknya orang-orang Jawa sering berperan dalam acara budaya orang Melayu.
Sekalipun orang-orang Jawa telah banyak mengadopsi adat-budaya Melayu, namun mereka tetap mempertahankan adat tradisi mereka. Dalam acara-acara budaya, orang Jawa mencampur-adukkan adat Melayu dengan Jawa dengan memberi porsi yang lebih besar pada unsur kejawaannya. Biasanya pada upacara-upacara inilah orang-orang Melayu dan juga Batak Angkola turut berperan penting. Selain itu, upacara-upacara yang sangat bernuansa etnis sering dilakukan orang Jawa, seperti selamatan, kuda kepang, permainan gamelan dan gong untuk kesenian wayang golek, namun orang-orang Melayu dan Batak Angkola juga turut diundang dan hadir di sana walau hanya sebagai partisipan biasa.

Persintuhan adat-budaya ataretnis di desa Kolam dan Bandar Klippa tidak seintensif yang terjadi di Desa Bandar Setia. Interaksi budaya antara Jawa dengan Batak Toba di Desa Kolam, dan antara Jawa dan Tionghoa lebih terfokus pada unsur-unsur yang bersifat kesenian dan tata krama pergaulan. Di desa Bandar Klippa, sifat kejawaan orang Tionghoa cukup kuat yang terekspresi dari cara bicara dan tatakrama pergaulan mereka sehari-hari. Tidak seperti teman seetnis yang tinggal di kota Medan, Tionghoa tampak sangat-sangat sopan dan penuh perhatian pada orang lain. Selain itu, mereka juga cukup menyenangi tradisi kesenian Jawa, seperti kuda kepang dan gamelan. Karena rasa senang inilah, Pak Nasib (seorang Etnis Cina dari ibu etnis Jawa) pandai memainkan kuda kepang, dan kemudian menjadi 'pawang' sekaligus pimpinan dalam setiap kegiatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Colletta, Nat J., dan Umar Kayam, (ed.), Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987)
Daldjoeni, N., Seluk-beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota), (Bandung: Alumni, 1982)
Evers, Hans-Dieter, Sosiologi Perkotaan, (Jakarta: LP3ES, 1979)
Geertz, Clifford, "Religion as Cultural System," dalam The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973).
Geertz, Clifford, The Religion of Java, (Glencoe: The Free Press, 1960).
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama, Bagian I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)
Karim, Muhammad Rusli, (ed.), Seluk-beluk Perubahan Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, tt.)
Kartodirdjo, Sartono, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta, LP3ES, 1984)
Kodiron, "Kebudayaan Jawa," dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999) cet. XVIII.
Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, (Jakarta: P.T. Gramedia, 1987)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Majalah Bulanan Tionghoa SINERGI, edisi 14, tahun II 1999.
Suparlan, Parsudi, "Kemajemukan, Hipotes Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 58.1994

Senin, 05 Desember 2011

SEJARAH ASAL-USUL ORANG NIAS

Pada masa saat ini telah banyak etnografi – etnografi atau tulisan – tulisan yang menceritakan tentang etnis Nias. Etnografi itu dicatat dalam beberapa tujuan diantaranya identik dengan model perdagangan, keagamaan, kearifan lokal, kesenian, dan sebagainya. Namun dari sekian banyak etnografi atau literatur yang telah ada, belum ada sumber yang pasti dan benar tentang asal – usul darimana Ono niha (orang nias) berasal . Kebanyakan literatur dan sumber sejarah hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar orang nias berasal dari negeri Cina. Namun pendapat ini diperkuat dari faktor fisik atau ciri – ciri tubuh orang nias kebanyakan memiliki kemiripan dengan orang cina, yaitu kulit kuning atau sawo matang dan memiliki bentuk mata sipit.

Penelitian Pastor Johannes Maria Harmmerle, OFMCap telah banyak menulis tentang Nias, dan salah satu sumber asal – usul di dalamnya menyatakan hal demikian. Dalam bukunya mengatakan terlalu mudah mengatakan bahwa Nias berasal dari satu daerah. Hal itu disebabkan Nias sendiri belum tentu terdiri hanya sebagai satu etnis saja. Sehingga terdapat beberapa hipotesa mengenai asal – usul orang Nias. Namun dari beberapa tulisan tentang Nias, Pastor Johannes menyimpulkan kelompok – kelompok etnis Nias yang didasarkan pada tradisi lisan terdiri dari tiga kelompok. Kelompok etnis pertama adalah kelompok yang tinggal di dalam gua dengan ciri anatomi tubuh berkepala besar.
Kelompok etnis kedua disebut belah dengan ciri fisik berkulit putih. Kelompok etnis kedua ini tinggal menetap di atas pohon. Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok manusia. Kelompok ini berasal dari tanah seberang yang datang dengan menggunakan kapal laut dan memakai rantai. Asal – usul dari kelompok etnis ketiga berasal dari seorang ibu bernama Siraso, sehingga dia dianggap sebagai wanita leluhur. Ibu Siraso memiliki anak yang bernama resmi Ho atau Hia. Hia ini adalah pemimpin kelompok manusia, kelompok yang memiliki keunggulan peradaban dari kedua etnis lainnya seperti hukum adat, pertanian, dan lain – lain. Orang Nias yakin kelompok inilah yang merupakan asal – usul mereka karena memiliki sejarah yang jelas.

Berdasarkan informasi yang diperoleh hasil dari wawancara mendalam kepada salah seorang tokoh masyarakat Lagundri, Martin Wau, mengatakan bahwa orang Nias berasal dari Cina atau orang Indonesia biasa menyebut dengan etnis tionghoa. Cerita ini berasal dari sebuah folklore berupa Legenda seorang gadis anak raja yang berasal di wilayah antara Assam dan kaki gunung Himalaya, di bagian utara India. Namun kata Martin lagi, selain dari Assam asal mereka juga ada yang mengatakan dari Tibet atau Naga Land. Anak gadis raja tadi bernama Xin Xua, dimana cerita pengembaraannya diawali karena sang gadis diketahui sedang mengandung di luar nikah. Atas kejadian ini sang Raja marah dan murka sekali. Kemudian raja itu mengumpulkan semacam dewan adat pada saat itu untuk mengadili dan memberi hukuman, karena hamil di luar nikah bagi kelompok mereka saat itu adalah pelanggaran dan sebuah aib besar. Sang raja menginginkan sang gadis dihukum mati, namun tidak demikian halnya dengan keputusan dewan adat. Mereka tidak menginginkan gadis itu sampai dihukum mati melainkan diusir keluar dari kelompok mereka.
Lalu mereka semua mempersiapkan segala sesuatu seperti membuat sebuah kapal dan perbekalannya untuk dibawa Xin Xua mengarungi lautan luas. Lalu pergilah Xin Xua dengan ditemani seekor anjing kesayangannya menuju ke wilayah nusantara dan pada akhirnya berlabuh di Pulau Nias sekarang. Karena legenda inilah Martin menambahkan, makanya orang Nias juga mencintai anjing dan banyak ditemukan di rumah – rumah orang Nias sampai sekarang.
Tempat awal dimana Xin Xua mendarat adalah di hilir sungai Susua. Konon etimologi kata Susua berasal dari kata Xin Xua yang diabadikan menjadi nama sungai sampai saat ini. Setelah mendarat ditepi pantai dan muara sungai Susua ini, maka menetaplah Xin Xua ditempat ini hingga dia melahirkan anak yang dikandungnya. Ketika Xin Xua memutuskan untuk tinggal di sana, maka dinaikkannya kapal yang membawanya ke darat untuk dijadikan rumahnya. Kemudian untuk menghindari bahaya seperti binatang buas dibuatlah kaki sehingga menjadi rumah panggung seperti rumah nias sekarang.
Begitu anaknya lahir, Xin Xua memberikan nama bagi anaknya ini Hian Hok . Setelah Hian Hok dewasa, maka pada suatu hari ibunya berkata kepadanya agar anaknya harus meninggalkan ibunya dan pergi untuk mengembara dan mengenali pulau ini. Xin Xua hanya memberikan cincin kepadanya dan berpesan: “jika pada suatu hari dia menemukan seorang gadis dan ketika cincin itu bisa disematkan di jari manisnya maka jadikanlah dia sebagai istrinya”.

Lalu pergilah Hian Hok dan menurut Martin lagi perjalanan yang dilakukan Hian Hok saat itu diawali dengan menyusuri sungai Susua menuju keatas dan kearah hulu sungai. Ujung perjalanan dari Hian Hok adalah di wilayah Gomo . Tempat inilah yang sebagian besar orang Nias sampai sekarang disebut sebagai daerah dari mana mereka berasal di Nias. Wilayah yang di tempati Hian Hok di Gomo adalah salah satu kampung di atas Kecamatan Gomo yang berjarak sekitar delapan Kilometer yang bernama Boronadu (baca : berenadu) di Desa Sifalago Gomo.
Ketika Hian Hok sedang duduk di sebuah pohon besar (kayu Fosi) tiba – tiba muncul seorang perempuan, banyak argumentasi menyatakan bahwa perempuan itu ibunya, ada juga yang menyatakan perempuan lain. Ketika disematkan cincin pemberian ibunya itu di jari perempuan itu dan cocok, lalu mereka pun menikah dan memiliki keturunan yang kita sebut anak Nias sampai sekarang.



Keterangan :
  1. Kayu Fosi adalah Pohon besar ini masih ada sampai sekarang sudah berusia ratusan tahun namun tinggi pohon itu tidak lebih dari 40 meter. Pohon ini memiliki satu anak. Masyarakat nias percaya setiap kejadian di batang kayu ini mereka yakini pasti akan terjadi suatu kejadian. Contoh jika daun – daunan berguguran, maka akan terjadi wabah penyakit di kampung itu dan apabila batang kayu patah pasti aka nada petua – petua adat yang akan meninggal dunia.
  2. Orang Nias biasa menyebut diri mereka dengan Ono Niha. Niha dalam bahasa Nias berarti manusia.

PERMASALAHAN PESISIR

Permasalahan pesisir saat ini bukan hal yang baru lagi....realitanya disebabkan atas 3 faktor yaitu :
  • 1. Faktor Kultural, berupa 'kebiasaan' dan sesuatu nilai-nilai yang telah turun temurun dalam memandang laut sebagai mata pencahariannya bahwa Laut bisa dikelola oleh siapa saja, karena laut memiliki potensi bagi semua masayarakat, masih ada hari esok untuk dicari...., maka nilai eksploitasi besar-besaran pemanfaatan laut tak dapat dibendung. seterusnya "kebiasaan berleha-leha yang berujung pada gaya hidup boros", dapat hari ini dihabiskan hari ini, karena mereka memandang besok masih bisa diperoleh.
  • 2. Faktor Ekologi. Laut memiliki sumber kekayaan yang luar biasa, memiliki segumpal misteri yang masih ada belum terpecahkan, sehingga beratus-ratus, bahkan beribu-ribu biota-biota tersimpan di perairan laut yang dangkal, maupun laut dalam. Biota-biota ini tumbuh dan berkembang di dukung oleh adanya terumbu karang, tingkat salinitas yang tinggi, hutan mangrove, yang secara ekologi memiliki manfaat penting bagi keberadaan ikan di masa yang akan datang. Permasalahanya adalah...tekanan eksploitasi besar-besaran tadi yang dilakoni oleh para stakeholders memberikan dampak pada penurunan Jumlah Kuantitatif pertumbuhan ikan dan Kualitatif keanekaragaman biota laut yang semakin lama semakin terkuras.kejadian ini terjadi bisa disebabkan karena alat penangkapan, revolusi teknologi penangkapan, membumihanguskan biodervisity dan kandungan unsur-unsur laut.
  • 3. Faktor Struktural, adanya pola penangkapan secara terkait satu sama lain yang tidak di dukung oleh pengawasan dan adanya aturan-aturan lokal maupun nasional dalam menaungi keberadaan biodervisity laut, serta nelayan tradisional dalam kancah kelembagaan terstruktur. Kita kethui bersama, Pola penangkapan melibtkan jaringan social di antara mereka, yang berupa patron - klien, adalah kelembagaan yang lahir dari dominannya peranan toke dalam pemanfaatan laut di bandingkan hubungan sinergis antara nelayan dan pemrintah. Hubungan ini tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, dominasi pengusaha (Cina) memiliki jaringan yang kuat scara lokal, nasional, maupun jaringan tersebut meluas sampai ke mancanegara. Hubungan ini terkadang merambat dalam segala aktifitas nelayan tradisional...bukan hanya hubungan dalam bisnis ikan, tetapi peran toke mampu memberikan hubungan ketergantungan pada situasi lain. Misalnya dalam perkawinan, dalam perobatan, dalam bantuan modal, melahirkan ketergantungan di antara mereka. Lalu dimana peranan Pemerintah? Pemerintah hanya melakoni sebagai 'tuan takur' mengutip retribusi bagi nelayan pengusaha....habis bulan gaji keluar, patroli diadakan asal-asal, dsb nya.... sehingga keberadaan struktural nelayan tak berdaya. Ada bantuan di berikan Pemerintah, namuun tidak berjalan dengan baik, tidak tepat sasaran, sehingga cenderung asal - asal hanya menghabiskan "proyek" pemerintah. terkadang nelayan tradisional mau mengajukan proposal bantuan, dipersulit. Ada pemberdayaan yang dilakukan pemerintah, habis proyek habis sudah hubungan dengan nelayan, hanya sekedar ambil dokumentasi kemudian di laporkan tak ada keberlanjutan. Sehingga tekanan seperti ini kekuatan nelayan tradisional berpangku kepada Toke sebagai pelakon yang menguntungkan bagi mereka...menguntungkan dalam arti toke lebih membumi di antara serpihan-serpihan kehidupan nelayan, diantara realita hidup nelayn, padahal sebetulnya dalam kacamata kita mereka sudah masuk dalam "Lingkaran Setan". Jadi jelas struktural, ekologi, kultural semuanya saling terkait dalam eksistensi kemiskinan dan permasalahan Pesisir.