Dalam situasi perkembangan penduduk yang terus meningkat di kota-kota besar, daerah pinggiran dipandang cukup penting sebagai wilayah pemukiman baru. Tidak seperti perencanaan pembangunan perumahan di pinggiran kota-kota pulau Jawa, pengembangan pemukiman di pinggiran kota Medan umumnya berlangsug secara alamiah. Kini wilayah Kabupaten Deli Serdang, yang mengelilingi kota Medan, menjadi target pemukim baru. Uniknya, seperti kesimpulan penelitian Usman Pelly di Medan, arus urbanisasi ke kawasan pinggir kota ini pada umumnya memakai saluran (channel) famili, kerabat sekampung. Akibatnya, di pinggiran Medan ini tumbuh pemukiman bersifat segregatif yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnis. Pemukiman etnis tersebut semakin hari semakin tinggi tingkat homogenitas kesamaan 'primordial sentiment-nya' (Pelly, 1986: 4).
Tidak banyak diketahui bagaimana sifat-sifat hubungan antaretnis yang terjadi di pinggiran kota dan ke arah mana pola-pola hubungan akan tercipta. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa proses interaksi berlangsung secara alamiah, tanpa intervensi yang berarti dari pihak luar. Tetapi di sana juga berlangsung tarik-menarik antara kultur setempat dengan kultur pendatang. Karena itu pergerakan interaksi sosial sering tidak dapat diduga atau diramalkan – apakah ke arah integrasi atau sebaliknya. Artinya sulit diduga pola hubungan yang bakal terjadi dari waktu ke waktu. Tidak mustahil, bahwa arah dan pola interaksi sosial itu juga berbeda-beda satu sama lain, sesuai dengan sifat-sifat komunitas etnis yang saling berintekrasi.
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa atau perkampungan ke arah timur kota Medan. Latar belakang spesifik yang membuat penelitian ini penting adalah pada sifat pemukiman-pemukiman di sana yang dapat menggambarkan situasi interaksi antaretnis yang bisa dilacak proses-prosesnya mulai dari tahap permulaan. Hal spesifik lainnya, adalah pada sifat hubungan antaretnis dalam satu pemukiman, di mana sebelumnya kedua etnis hampir tanpa interaksi yang intens. Lebih dari itu, keragaman etnis di Sumatera Utara yang sangat majemuk adalah alasan lain yang menandai pentingnya penelitian ini dilakukan. Dengan demikian, dalam studi tentang interaksi antaretnis di pinggiran kota Medan, pasti berhadapan dengan banyak tipe-tipe pemukiman yang dapat dipilih dengan bermacam-macam pola hubungan antar etnis.
Interaksi Sosial dalam Pergaulan Sosial
Umumnya orang-orang di desa-desa penelitian yang tinggal dalam satu dusun saling mengenal satu sama lain, dan sebagian di antara mereka saling mengenal dengan anggota masyarakat dari dusun lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka tidak sebatas aspek formalnya saja.
Sebagai sebuah desa di pinggiran kota, interaksi sosial antar anggota etnis di tiga tiga desa penelitian ini berlangsung secara intensif. Pranata-pranata tradisional yang ada di desa dipandang cukup penting dalam proses interaksi antara satu sama lain. Selain rumah-rumah dan perkumpulan keagamaan yang di dalamnya terjadi interaksi terbatas antara anggota satu agama, tempat-tempat berkumpul dan bertemu lainnya, seperti kedai kopi, kedai sampah, pasar tradisional, lapangan olah-raga, halaman atau teras rumah penduduk, dan sebagainya, dinilai cukup fungsional dalam menjalin hubungan antar etnis di sana. Ibu-ibu dari bermacam etnis (Jawa, Melayu, Batak Angkola/Mandailing, Batak Toba atau Tionghoa) sering bertemu dan mengobrol panjang lebar ketika berbelanja di kedai sampah atau bertandang ke rumah tetangga. Para laki-laki remaja dan dewasa juga tampak terlibat dalam kegiatan interaksi di lapangan olah-raga dan kedai kopi. Demikian juga anak-anak dari berbagai etnis, mereka berintekrasi hampir sepanjang waktu ketika belajar di sekolah atau bermain di area perkampungan. Tak terkecuali, pada waktu-waktu khusus, seperti dalam acara pesta perkawinan dan melayat orang meninggal, masyarakat dari beragam etnis juga dapat bertemu dan saling bercerita antara satu sama lain.
Salah satu akibat positif dari proses interaksi yang cukup intensif itu adalah pertukaran bahasa antaretnis. Walaupun orang-orang pada tiga desa tersebut mengaku menggunakan bahasa Indonesia di tempat-tempat umum, namun tampaknya pertukaran bahasa etnis juga terjadi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, khususnya bagi mereka yang sudah lama bermukim di sana. Selain pertukaran bahasa antara Melayu dan Jawa di Desa Bandar Setia, bahasa Jawa menjadi pilihan yang banyak dipelajari anggota komunitas selain Jawa. Umumnya orang-orang Batak Toba di Desa Kolam, dan orang-orang Tionghoa di Desa Bandar Klippa telah menguasai dan mahir berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan, banyak orang-orang Tionghoa yang lebih lancar berbahasa Jawa daripada bahasa Hokian (Cina), dan hampir tidak mengerti bahasa Mandarin. Oleh karena itu, tidak heran bilamana dalam komunikasi antara orang Batak Toba dengan orang Jawa atau orang Tionghoa dengan orang Jawa lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia.
Ada perbedaan penting antara pendatang awal dan pendatang belakangan dalam proses adaptasi dengan etnis setempat. Generasi pertama migrasi Mandailing ke Desa Bandar Setia, Batak Toba ke Desa Kolam, dan Tionghoa di Desa Bandar Klippa lebih cepat beradaptasi dengan etnis setempat, tetapi kaum migran dari generasi belakangan (yang datang pada 20 tahun terakhir) tampaknya semakin sulit. Pergeseran durasi proses adaptasi antara generasi awal dan generasi belakangan berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang dipertunjukkan. Jika pendatang awal segera berusaha mendekat kepada etnis setempat, maka pendatang baru cenderung mencari teman seetnis dalam berkomunikasi. Sikap ini berkaitan dengan banyak hal, seperti karena semakin populasi anggota etnis, adanya keunggulan kompetitif, dan adanya perbedaan di bidang pekerjaan.
Interaksi dalam Kegiatan Budaya
Di desa Bandar Setia, berlangsung interaksi segitiga antar etnis Melayu, Jawa dan Batak Angkola/Mandailing. Orang-orang dari ketiga etnis ini 100% menganut agama Islam, dengan faham keagamaan yang sama; baik di bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf. Secara umum, Melayu dan Jawa merupakan dua etnis yang sudah cukup lama di desa tersebut dan dikategorikan sebagai penduduk setempat, sedangkan Batak Angkola /Mandailing adalah kelompok etnis pemukim baru, yang dikategorikan sebagai etnis pendatang.
Sebenarnya migrasi etnis Mandailing ke Tembung dan sekitarnya (termasuk ke Desa Bandar Setia) sudah berlangsung sejak lama. Tidak ada data valid yang dapat dirujuk mengenai masa perpindahan orang-orang dari etnis ini ke Bandar Setia, namun diperkirakan orang-orang Mandailing telah ada di pinggiran kota Medan sejak awal kemerdekaan. Jumlah mereka masih terbatas, jauh lebih sedikit dibanding dengan penduduk setempat; Melayu dan Jawa.
Pemukim gelombang pertama ini membaur dengan masyarakat setempat dan kemudian berakulturasi secara intens. Orang-orang Mandailing dari generasi pertama memang berusaha untuk menjadi identik dengan orang Melayu. Mereka banyak mengadopsi budaya Melayu, mulai dari bahasa, tradisi-tradisi budaya, kebiasaan hidup, pola berbusana, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan daerah asal juga hampir terputus, sehingga budaya daerah hampir terlupakan dan sudah amat jarang dilaksanakan, mereka juga tidak menggunakan marga dalam dokumen formalnya, sekalipun mereka tahu dan sadar atas marga mereka. Karena itu, generasi pertama orang-orang yang berasal dari Mandailing yang sekarang tinggal di Bandar Setia telah benar-benar melaksanakan adat-budaya Melayu.
Agaknya pola interaksi yang ditempuh orang-orang Mandailing generasi awal tidak diikuti dengan baik oleh orang-orang Batak Angkola /Mandailing yang datang belakangan. Sebagai pendatang baru di tengah-tengah masyarakat Melayu dan Jawa, orang-orangg Batak Angkola/Mandailing telah mengikuti dan memperhatikan upcara-upacara budaya setempat. Namun dalam perkembangan berikutnya, para pendatang baru Angkola-Mandailing lebih selektif dalam memilih bagian-bagian budaya Melayu yang dapat diadopsi, sekaligus mencoba mengukuhkan identitas budaya etnis sendiri. Beberapa indikasi ke arah penerimaan sebagian budaya Melayu dan Jawa dapat ditangkap dari acara-acara etnis yang disertai marhaban, tepung tawar, dan bale (dari budaya Melayu), serta acara kirim do'a untuk arwah keluarga yang pada 7 atau 40 hari meninggalnya (dari budaya Jawa). Tetapi indikasi lainnya menunjukkan pula, bahwa orang-orang Batak Angkola/Mandailing masih tetap melaksakan acara-acara etnis, seperti mangupa (membuat hidangan khusus bagi penganten yang disertai nasehat-nasehat), dan mangadati (mengantar secara adat) orang yang baru meninggal dunia, termasuk manariakkon (menyampaikan pidato-pidato pada saat pembeangkatan jenazah dari rumah), suatu tradisi yang sebelumnya tidak dikenal di sana.
Pertukaran budaya juga telah terjadi antara Jawa dan Melayu. Berbeda dari interaksi Mandailing-Melayu, interaksi Jawa dengan Melayu berlangsung tanpa peleburan identitas. Anggota kedua etnis Jawa dan Melayu bergaul dalam hidup sehari secara normal sebagaimana layaknya hubungan saudara muslim. Karena lamanya interaksi itu, secara otomatis terjadi pertukaran budaya secara alamiah. Ini banyak terjadi pada sisi-sisi budaya bernuansa agama; Islam. Tradisi marhaban, tepung tawar, bale, dan tepak sirih yang menjadi tradisi orang Melayu dalam acara-acara kegembiraan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang Jawa. Demikian sebaliknya, acara-acara selamatan atau kirim doa pada tujuh, empat puluh, seratus dan seribu hari bagi anggota keluarga yang meninggal sebagai tradisi orang Jawa sudah amat sering dilakukan oleh orang-orang Melayu. Atas dasar itu, dalam banyak hal, orang-orang Melayu sering memegang peranan dalam acara orang Jawa, dan sebaliknya orang-orang Jawa sering berperan dalam acara budaya orang Melayu.
Sekalipun orang-orang Jawa telah banyak mengadopsi adat-budaya Melayu, namun mereka tetap mempertahankan adat tradisi mereka. Dalam acara-acara budaya, orang Jawa mencampur-adukkan adat Melayu dengan Jawa dengan memberi porsi yang lebih besar pada unsur kejawaannya. Biasanya pada upacara-upacara inilah orang-orang Melayu dan juga Batak Angkola turut berperan penting. Selain itu, upacara-upacara yang sangat bernuansa etnis sering dilakukan orang Jawa, seperti selamatan, kuda kepang, permainan gamelan dan gong untuk kesenian wayang golek, namun orang-orang Melayu dan Batak Angkola juga turut diundang dan hadir di sana walau hanya sebagai partisipan biasa.
Persintuhan adat-budaya ataretnis di desa Kolam dan Bandar Klippa tidak seintensif yang terjadi di Desa Bandar Setia. Interaksi budaya antara Jawa dengan Batak Toba di Desa Kolam, dan antara Jawa dan Tionghoa lebih terfokus pada unsur-unsur yang bersifat kesenian dan tata krama pergaulan. Di desa Bandar Klippa, sifat kejawaan orang Tionghoa cukup kuat yang terekspresi dari cara bicara dan tatakrama pergaulan mereka sehari-hari. Tidak seperti teman seetnis yang tinggal di kota Medan, Tionghoa tampak sangat-sangat sopan dan penuh perhatian pada orang lain. Selain itu, mereka juga cukup menyenangi tradisi kesenian Jawa, seperti kuda kepang dan gamelan. Karena rasa senang inilah, Pak Nasib (seorang Etnis Cina dari ibu etnis Jawa) pandai memainkan kuda kepang, dan kemudian menjadi 'pawang' sekaligus pimpinan dalam setiap kegiatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Colletta, Nat J., dan Umar Kayam, (ed.), Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987)
Daldjoeni, N., Seluk-beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota), (Bandung: Alumni, 1982)
Evers, Hans-Dieter, Sosiologi Perkotaan, (Jakarta: LP3ES, 1979)
Geertz, Clifford, "Religion as Cultural System," dalam The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973).
Geertz, Clifford, The Religion of Java, (Glencoe: The Free Press, 1960).
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama, Bagian I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)
Karim, Muhammad Rusli, (ed.), Seluk-beluk Perubahan Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, tt.)
Kartodirdjo, Sartono, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta, LP3ES, 1984)
Kodiron, "Kebudayaan Jawa," dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999) cet. XVIII.
Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, (Jakarta: P.T. Gramedia, 1987)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Majalah Bulanan Tionghoa SINERGI, edisi 14, tahun II 1999.
Suparlan, Parsudi, "Kemajemukan, Hipotes Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 58.1994
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [0123] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR 450 JUTA ,
PESUGIHAN DANA GAIB
PESUGIHAN UANG BALIK
DAN PESUGIHAN TUYUL